Sepuluh bulan dari hari ini, aku ditugaskan di sebuah kebun.
Kebun tersebut berada di kota kecil. Kota tersebut menjadi perbatasan dari dua
provinsi. Konon, daerah tersebut terletak di antara keraton yang mengalami
perpecahan. Kebun yang menjadi tugasku adalah kebun dengan tanah subur sehingga
menghasilkan bibit-bibit pohon berkualitas.
Aku pun menjadi khawatir, apa kemampuanku cukup untuk
membesarkan bibit-bibit yang akan menjadi pohon berkualitas. Akan tetapi, kubuang
ketakutanku dan tugaskulah untuk membesarkannya karena akupun bisa btumbuh berkat
kebun ini. Sekaranglah saatnya aku merawat bibit-bibit pohon tersebut.
Hari pertama, aku melangkahkan kaki memasuki kebun. Langkah
pertama terasa asing. Dengan hati-hati kutengok bibit-bibit yang menjadi asuhanku.
Kulangkahkan kakiku dengan pelan dan waspada. Tuk... tuk... tuk... Aku mendengar
suara sepatuku sendiri sembari mengedarkan pandangan ke seluruh bibit. Aku
tersenyum senang ketika pertama kali melihat mereka. Karena merekalah, aku tak
merasa asing lagi dengan kebun ini. Bahkan, merasa betah untuk tinggal di kebun
dan merawat mereka. Bukan lagi menjadi sebuah tugas untuk merawat mereka, tapi
sebuah proses belajar.
Dari yang kulihat, tinggi bibit-bibit tersebut sekitar 20 – 40
cm. Akan tetapi, tidak semua bibit di kebun ini seragam. Ada bibit yang hanya
mempunyai beberapa helai daun, tapi ada juga yang daunnya tumbuh jauh lebih
lebat. Di bagian depan, ada pula bibit yang pertumbuhannya terlihat cepat
hingga tingginya melebihi bibit yang lain. Kembali kuedarkan pandanganku hingga
terlihat di sebelah samping kanan kebun, ternyata ada bibit-bibit kecil, terlalu
kecil dibanding lainnya. Sampailah di bagian belakang kebun, bibit di belakang
ternyata sedikit layu, batangnya terkulai menyentuh tanah.
Melihat kondisi bibit-bibit pohon asuhanku, ternyata aku
punya bayak pekerjaan yang harus dilakukan. Setiap hari aku merawat mereka:
memupuk dengan kadar yang berbeda agar mereka tumbuh sesuai dengan kebutuhan,
menyiram dengan takaran air yang tepat, membersihkan benalu-benalu yang
mengganggu. Berharap mereka dapat tumbuh dengan baik. Itulah harapanku. Walaupun
tiap bibit mempunyai kondisi yang berbeda, tapi aku percaya mereka dapat tumbuh
dengan baik.
Setelah tiga bulan, tugasku akan segera berakhir. Di
hari-hari terakhir, justru mereka menjadi bibit yang nakal sehingga rasa
jengkelku pun muncul. Bibit yang susah payah kurawat justru tak mengindahkanku.
Rasa jengkel telah membuatku untuk menepis mereka.
Ah, sebenarnya akupun pernah berada di posisi bibit-bibit
asuhanku, tetapi perbedaanya adalah mereka belum pernah di posisiku. Akhirnya
aku mengerti. Bukan karena tumbuh lebih dahulu atau ditanam lebih dahulu, tapi pohon
pernah menjadi bibit dan bibit belumlah menjadi pohon. Itulah mengapa pohon
ditanam untuk melindungi bibit bukan untuk menuntut bibit tumbuh sama sepertinya.
Sudahlah, akhirnya tugasku berakhir. Sampai jumpa sepuluh
bulan lagi.
Sepuluh bulan pun berlalu. Aku kembali ke kebun untuk
melaksanakan tugasku berikutnya. Kembali kutemui mereka, bibit-bibit pohon
kesayanganku. Akupun bertanya-tanya, apakah mereka tetap sama?
Kembali kulangkahkan kakiku memasuki kebun. Tuk... tuk...
tuk.... Aku mendengar suara sepatuku sendiri sembari mengedarkan pandangan ke
seluruh bibit. Adegan yang sering disebut orang sebagai dejavu. Kembali
kulakukan tugasku untuk merawat mereka: memupuk, menyiram, menghilangkan benalu.
Kuperhatikan mereka dengan cermat.
Ah, ternyata mereka sudah tumbuh. Jika tak melihat dengan
cermat, mungkin tak akan tahu bahwa mereka telah tumbuh. Senang sekali melihat
mereka ada perkembangan, sekitar 2-3 cm. Ternyata mereka mau belajar. Bukan
seberapa tinggi mereka dapat tumbuh yang membuatku senang, tapi proses mereka
untuk mau belajar tumbuhlah yang membuatku gembira. Teruslah belajar untuk
tumbuh, 39 bibit pohon kesayanganku.
Untuk 39 bibit pohon asuhanku