Kamis, 18 April 2013

Si Pemilik Punggung yang Kokoh

Sering kulihat dia
Walau aku tak mengenalnya secara langsung, sosok itu menjadi tak asing. Setiap hari kulihat punggungnya di lorong. Sebuah punggung yang tinggi, lebar, dan tegap. Seolah punggung itu bisa menopang dan melindungi orang lain. 
Setiap matahari memberikan sinarnya dengan lantang, tiap itulah aku melihat punggungnya. Langnkah kecilku tak sanggup mengimbangi langkahnya yang lebar sehingga aku pun selalu berada dua meter di belakangnya. Dua meter, jarak yang cukup untuk selalu melihat punggungnya. Lorong yang sempit dan gelap membuat punggungnya semakin menarik perhatianku, seperti magnet. Magnet yang membuatku selalu melihat dan mengikutinya. Tak pernah kulepaskan pandanganku dari punggung itu, selama lorong itu belum berakhir. Harapanku adalah lorong itu tak memiliki ujung. 
Ujung lorong ternyata tetap muncul dan aku pun kehilangan punggung itu.
Sesuai hitungan masehi, 365 hari tak pernah lepas untuk melihat punggungnya.
Hingga di hari ke 366 aku melihat punggungnya pada jarak 10 cm. Mungkin Tuhan kasihan padaku, atau memang sudah takdir. Ikuti saja skenario dari-Nya. Selain punggung yang memberikan rasa nyaman, ternyata punggung itu menutupi pandangan ketika berada dalam jarak 10 cm. Akan tetapi, si pemilik punggung itu berbaik hati bergeser hingga tak lagi menutupi pandanganku. Walaupun itu bukan urusannya apakah pandanganku tertutupi atau tidak, tapi si pemilik peunggung tetap memperhatikan nasib orang lain. Dia terlalu baik.
Dalam 2x365 hari, terus saja kulihat punggung yang sekarang bisa kulihat dengan jarak sedekat ini. Akan tetapi, lagi-lagi takdir berputar. Tak lagi kulihat punggung itu dalam 3x365 hari, walaupun hanya 3 kali dalam ratusan hari itu kembali kulihat punggungnya. 
Setelah 3x365 hari, kembali kulihat pungung itu. Punggung yang sama, tapi terlihat lebih kokoh. Enggan untuk melepas punggung itu lagi.
Semoga Tuhan berbaik hati  supaya bisa kulihat punggung itu selama sisa hari-hari....

Sabtu, 23 Maret 2013

FLASHBACK



MUSASI tahun ke-3 dan ke-4

MUSASI tahun ke-1 dan ke-2

Lembaga Pers Mahasiswa EKSPRESI
Ingin menulis. Itulah alasan untuk memasukinya
Setelah tiga tahun mendiami rumah tersebut, baru terbersit niatku untuk menuliskannya di tempat ini. Mungkin karena selama tiga tahun, aku terlalu asyik bergumul di dalamnya hingga untuk mengisahkannya ke dalam tulisan pun tak kulakukan. Di tahun 2013, usai sudah kisahku di dalam rumah itu. Dan inilah kisahku dan mereka.

Organisasi ini asing sekali bagiku ketika melangkahkan kaki pertama kali. Kultur yang aneh, itulah yang pertama kupikirkan. Lihat saja, pertama kali masuk dalam pelantikan, para anggota diajarkan untuk demo. Mereka menyebutnya aksi. Hal yang selalu mengerikan di mataku sebelumnya. Ternyata aksi pun membutuhkan panitia dan koordinasi yang tertatat. Hem, baru aku tau hal tersebut. Aneh-aneh saja aksi oleh kawan-kawan ini yang berujung pada kekisruhan.

ORI 2009
Jika di TV, kisruh aksi menjadi panas dan penuh emosi, tapi di sini malah diisi kekocakan dan humor-humor yang konyol. Walaupun begitu, udara tetap panas. Oleh karena itu, akupun berteduh bersama beberapa kawan yang merasakan hal sama. Tak lupa kepala jaket terus kukenakan untuk menghalau sengat matahari.

Capeknya... mari istirahat saja!

Setelah menjalani beberapa ritual seperti diskusi sampai penantingan maka dilantiklah kami menjadi anggota EKSPRESI.
Mereka pun mengucapkan, "Selamat datang!" sembari menepuk pundak dan menjabat erat tangan kami
Sedangkan aku hanya tersenyum simpul :)

Belajarlah untuk Tumbuh



Sepuluh bulan dari hari ini, aku ditugaskan di sebuah kebun. Kebun tersebut berada di kota kecil. Kota tersebut menjadi perbatasan dari dua provinsi. Konon, daerah tersebut terletak di antara keraton yang mengalami perpecahan. Kebun yang menjadi tugasku adalah kebun dengan tanah subur sehingga menghasilkan bibit-bibit pohon berkualitas.

Aku pun menjadi khawatir, apa kemampuanku cukup untuk membesarkan bibit-bibit yang akan menjadi pohon berkualitas. Akan tetapi, kubuang ketakutanku dan tugaskulah untuk membesarkannya karena akupun bisa btumbuh berkat kebun ini. Sekaranglah saatnya aku merawat bibit-bibit pohon tersebut.

Hari pertama, aku melangkahkan kaki memasuki kebun. Langkah pertama terasa asing. Dengan hati-hati kutengok bibit-bibit yang menjadi asuhanku. Kulangkahkan kakiku dengan pelan dan waspada. Tuk... tuk... tuk... Aku mendengar suara sepatuku sendiri sembari mengedarkan pandangan ke seluruh bibit. Aku tersenyum senang ketika pertama kali melihat mereka. Karena merekalah, aku tak merasa asing lagi dengan kebun ini. Bahkan, merasa betah untuk tinggal di kebun dan merawat mereka. Bukan lagi menjadi sebuah tugas untuk merawat mereka, tapi sebuah proses belajar.

Dari yang kulihat, tinggi bibit-bibit tersebut sekitar 20 – 40 cm. Akan tetapi, tidak semua bibit di kebun ini seragam. Ada bibit yang hanya mempunyai beberapa helai daun, tapi ada juga yang daunnya tumbuh jauh lebih lebat. Di bagian depan, ada pula bibit yang pertumbuhannya terlihat cepat hingga tingginya melebihi bibit yang lain. Kembali kuedarkan pandanganku hingga terlihat di sebelah samping kanan kebun, ternyata ada bibit-bibit kecil, terlalu kecil dibanding lainnya. Sampailah di bagian belakang kebun, bibit di belakang ternyata sedikit layu, batangnya terkulai menyentuh tanah.

Melihat kondisi bibit-bibit pohon asuhanku, ternyata aku punya bayak pekerjaan yang harus dilakukan. Setiap hari aku merawat mereka: memupuk dengan kadar yang berbeda agar mereka tumbuh sesuai dengan kebutuhan, menyiram dengan takaran air yang tepat, membersihkan benalu-benalu yang mengganggu. Berharap mereka dapat tumbuh dengan baik. Itulah harapanku. Walaupun tiap bibit mempunyai kondisi yang berbeda, tapi aku percaya mereka dapat tumbuh dengan baik.

Setelah tiga bulan, tugasku akan segera berakhir. Di hari-hari terakhir, justru mereka menjadi bibit yang nakal sehingga rasa jengkelku pun muncul. Bibit yang susah payah kurawat justru tak mengindahkanku. Rasa jengkel telah membuatku untuk menepis mereka.

Ah, sebenarnya akupun pernah berada di posisi bibit-bibit asuhanku, tetapi perbedaanya adalah mereka belum pernah di posisiku. Akhirnya aku mengerti. Bukan karena tumbuh lebih dahulu atau ditanam lebih dahulu, tapi pohon pernah menjadi bibit dan bibit belumlah menjadi pohon. Itulah mengapa pohon ditanam untuk melindungi bibit bukan untuk menuntut bibit tumbuh sama sepertinya.

Sudahlah, akhirnya tugasku berakhir. Sampai jumpa sepuluh bulan lagi.

Sepuluh bulan pun berlalu. Aku kembali ke kebun untuk melaksanakan tugasku berikutnya. Kembali kutemui mereka, bibit-bibit pohon kesayanganku. Akupun bertanya-tanya, apakah mereka tetap sama?
Kembali kulangkahkan kakiku memasuki kebun. Tuk... tuk... tuk.... Aku mendengar suara sepatuku sendiri sembari mengedarkan pandangan ke seluruh bibit. Adegan yang sering disebut orang sebagai dejavu. Kembali kulakukan tugasku untuk merawat mereka: memupuk, menyiram, menghilangkan benalu. Kuperhatikan mereka dengan cermat.

Ah, ternyata mereka sudah tumbuh. Jika tak melihat dengan cermat, mungkin tak akan tahu bahwa mereka telah tumbuh. Senang sekali melihat mereka ada perkembangan, sekitar 2-3 cm. Ternyata mereka mau belajar. Bukan seberapa tinggi mereka dapat tumbuh yang membuatku senang, tapi proses mereka untuk mau belajar tumbuhlah yang membuatku gembira. Teruslah belajar untuk tumbuh, 39 bibit pohon kesayanganku.


Untuk 39 bibit pohon asuhanku