Minggu, 24 Mei 2015


Pertama yang Tak Berkesan

Setelah nyaman di suatu tempat, akhirnya si burung biru ini memasuki dunia baru. Dunia yang mirip dengan dunia lamanya, hanya naik tingkat. Pertama kali berkenalan dengan orang-orang di depan forum, tak ada wajah yang ia ingat satu pun. Ingatannya memang lemah soal wajah dan nama. Ya begitulah. Hingga salah seorang dari forum itu pun sering membantu pekerjaannya lewat beberapa pesan singkat. Si burung biru tak juga ingat wajahnya walaupun orang itu telah menyebutkan namanya. Ah, burung bodoh.
Hingga suatu saat ketika si burung biru melakasanakan pekerjaannya dengan tertatih, ia mendapat informasi tentang peresmian bis ramah difabel oleh pejabat tinggi di kota tersebut. Dengan tergopoh, si burung berniat meliputnya dan bertemu dengan juru kamera kenalannya yang akan mengabadikan moment peresmian.
Si juru kamera pun bertanya siapa yang akan meliput karena tidak ada pewarta tempatku bekerja untuk meliput. Si burung akhirnya mantap berniat meliputnya. Tiba-tiba datang orang dengan baju merah marun dan nama kantor tempatku bekerja tersemat kecil di dada kiri bajunya. “Orang kantor,” ujar si burung biru dalam hati. Si burung dan orang itu saling menyapa dan berjabat tangan. Namun, si burung biru yang naif itu masih bertanya-tanya, siapa gerangan nama orang itu. Si burung hanya memanggil “mas” karena tidak ingat namanya.
Orang itu berbincang dengan juru kamera kantor kami. Dari perbincangan itu, si burung biru akhirnya tau nama orang itu. “Owh, mas itu,” celutuk burung biru dalam hati. Ya begitulah lagi-lagi kebodohannya. “Liput aja,” kira-kira begitu kata mas-mas itui. Tapi, si burung biru menolak meliput karena targetnya sudah terpenuhi dan sudah mepet deadline. Si burung biru melenggang pergi setelah berpamitan dengan mas-mas itu dan juru kamera.
Keesokan harinya, burung biru membaca hasil berita tentang peresmian bis ramah difabel. Ia bandingkan dengan beberapa surat kabar lain di kota tersebut. Surat kabar lain, ya seperti biasa, peresmian bus oleh petinggi dan bla bla bla bla. Berbeda dengan mas-mas yang baru burung biru ingat wajah dan namanya itu. Mas-mas itu menulis dengan angle lain. Ia menyoal soal papan miring untuk difable agar bisa naik ke dalam bis. Difable kesulitan mendorong kursi rodanya secara mandiri untuk dapat melewati papan miring dan masuk ke dalam bisa. Difable membutuhkan bantuan untuk dapat melintasi papan miring dan masuk ke dalam bisa. Padahal bus tersebut bertujuan untuk ramah difable.
“Angle yang menarik,” ujar si burung biru yang naif.
Si burung biru pun tertarik dengan tulisannya. Ia tertarik karena mas-mas itu menulis. Menulis dengan sudut yang berbeda, unik. Bagi burung biru, setiap tulisan itu bersarang jiwa sang penulis.
Hanya itu awalnya. Awal yang tak berkesan.