Sabtu, 23 Juni 2012

Teman Dalam Hujan


“Ular.. ular.. ular…,” teriak bocah laki-laki berumur 5 tahun bernama Ran di depan rumahnya. Seorang bocah perempuan, yang sering dipanggil Ran sebagai Pipink pun berteriak penasaran, “Mana? Mana?”
Ran menunjuk pada rerumputan lebat di depan rumah Pipink. Maklum, rumah pipink baru dibangun tahun lalu di desa kecil yang berpenghuni 12 kepala keluarga sehingga depan rumahnya masih dipenuhi rumput lebat dan gundukan pasir bekas bangunan rumah. Pipink pun ketakutan dan berteriak kencang memanggil ibunya, “Ibu.. ibu.. keluar.. ada ular di depan rumah. Jemput aku, bu!”
“Mana ibumu, Pink?” Tanya Ran penasaran. Pipink menjawab dengan wajah pucat dan suara lirih, “Aku gak tahu. Gimana ini?” “Kita tunggu di sini saja, sampai ibumu menjemputmu. Oke?”  Ran menenangkan Pipink. “He em,” jawab Pipink.



Langit di atas dua bocah itu mendung dengan dipenuhi awan hitam. Udara di sore hari itu pun makin dingin. Hujan rintik-rintik turun mengguyur  pohon-pohon, tanah, rumah, sampai kepala sepasang bocah. Pipink berteriak, “Wah, hujan!”
Suara langkah yang tergopoh-gopoh dating dari dalam rumah Ran. Terlihat sosok pengasuh Ran datang, “Ran ayo masuk rumah. Hujan turun, nanti kamu basah dan bisa sakit.” Ran pun memandang Pipink dengan tidak tega. Pipink pun terus memandang rumahnya. Dia tidak berani pulang ke rumah karena takut ada ular di depan rumahnya.
 “Aku temani,” kata Ran pada Pipink. Ran menaroh dua tangannya di atas kepala. Pipink hanya berdiam diri dan tak berkata apapun. Pengasuh Ran terus membujuk Ran untuk masuk rumah. Rintik hujan semakin deras. Pipink merasa bersalah karena Ran juga kehujanan untuk menemaninya. Padahal Ran bisa saja masuk rumah dan berteduh, meninggalkan Pipink di luar kehujanan karena tak berani masuk rumah. Akan tetapi, Ran lebih memilih menemani Pipink di tengah guyuran hujan. Ran menjadi teman Pipink di dalam hujan.
“Pink.. ayo masuk, hujan deras,” tiba-tiba ibu Pipink berteriak dari rumah Pipink. Pipink pun menoleh ke rumah dengan perasaan lega. Pipink dan Ran saling memandang lega. Mereka berbalik dan lari kencang menuju rumah masing-masing. Pipink lari dengan mengabaikan rasa takut ada ular. Pipink mengabaikan rasa takunya supaya Ran dapat masuk ke rumahnya sehingga tidak kehujanan. Demi sobatnya, Ran.

“Terima kasih,” kata Pipink lirih di dalam hatinya, sambil memandang rumah Ran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar